Aku ingin seorang bayi

Pewaris Ghenifer
Sebelumnya…
“Siapa yang punya anak pertama kali, dialah pewaris utama keluarga Ghenifer!”
Ucapan yang baru saja di lontarkan pengacara keluarga Ghenifer berhasil membuat badai petir di rumah mewah yang berpenghuni empat orang itu.
Masing masing orang yang ada di sana mengepalkan tangan. Terutama dua pria dewasa yang terlihat seumuran.
Bagaskara Ghenifer, salah satu konglomerat terkaya di kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah kekayaan lebih dari 68,8 milyar US dollar menjadikannya masuk salam lima besar Crazy rich asia. Memberi persyaratan yang berat kepada dua anak lelakinya, jika ingin menjadi pewaris utama dari perusahaan telekomunikasi yang tinggalkan, mereka harus segera punya anak, dalam waktu satu tahun.
“Lelucon macam apa ini?” tawa sumbang menggema ke seisi ruangan. “Selama ini aku sudah menduduki posisi utama perusahaan! Kenapa juga harus ada persyaratan gila macam ini!” Pria dengan manik kecoklatan itu menggebrak meja dengan sangat keras.
Ansel Fernandez Ghenifer, anak kedua dari Bagaskara, tidak terima dengan isi surat wasiat yang ayahnya buat. Selama ini ia sudah bekerja keras untuk membuat perusahaan maju, tapi perusahaan tetap tak bisa jatuh ke tangannya.
Lagi pula, tak mungkin Ansel akan menikah dalam waktu dekat ini. Mengingat sang kekasih masih mempunyai kontrak dengan sebuah agensi kecantikan dunia, sebuah perjanjian untuk tidak menikah dua tahun ke depan.
“Sudah meninggal masih saja merepotkan orang!” Dengusnya dengan kesal. Bukannya mewariskan kebahagiaan, sang ayah justru meninggalkan masalah. Ansel, makin membenci ayah nya sendiri.
“Saya anak tertua di keluarga ini! Kenapa bukan saya saja yang mewarisi semua!” Sama seperti sang adik Biru Fernando Ghenifer, juga tak terima dengan isi surat wasiat.
Keluarga yang lain, akan dengan senang hati menyerahkan kekuasaan pada anak sulung. Tapi keluarganya justru melakukan hal yang tak adil menurut Biru.
“Anak tertua kalau dari istri simpanan apa gunanya?” Ansel memandang remeh pada seseorang yang harusnya di panggil kakak itu.
“Lalu menurutmu kau yang lebih pantas?”
“Jelas! Aku anak dari istri pertama!” Jawab Ansel angkuh.
Bagaskara memang memiliki dua istri, istri pertamanya bernama Anyelir, yang sampai sepuluh tahun menikah ternyata tak mampu melahirkan keturunan Bagaskara, hingga memaksa Bagaskara harus menikah lagi dengan Renata. Tak di sangka, setelah kelahiran Biru, Anyelir akhirnya hamil dan melahirkan Ansel.
Polemik keluarga terus saja berkembang hingga akhirnya terciptalah sayembara gila ini.
Bagaskara tak ingin, dimasa depan anak-anak nya harus mengalami hal yang sama dengan dirinya. Harus menikah lagi ketika sudah punya istri, karena sang istri dirasa tak mampu melahirkan keturunan. Jadi siapapun pewaris keluarga Ghenifer, harus sudah memiliki anak.
“Saya hanya menyampaikan wasiat dari Tuan Bagaskara! Persyaratan itu mutlak tidak bisa di ganggu gugat! Dan bila sampai batas waktu yang sudah di tentukan, tapi tak ada yang bisa memenuhi persyaratan, maka… seluruh harta akan di sumbang kan ke yayasan sosial!”
“Kau gila?” Pekik Renata dengan bola mata yang hampir keluar. Bertahun tahun ia mengharap warisa itu dan kini mau di sumbangkan?
“Saya rasa penjelasan yang saya sampaikan sudah cukup jelas! Permisi!”
Tak ingin ada penawaran yang terus menerus di layangkan, pengacara pribadi dari Bagaskara itu memilih untuk pergi dari kediaman mewah milik keluarga Ghenifer.
Membiarkan, dua pasang ibu dan anak itu, saling beradu strategi mendapatkan warisa dari Bagaskara.
Sementara itu, ketika sebuah keluarga sibuk memperebutkan harta demi kemewahan dunia. Di sudut tempat lain, seorang gadis hanya mencoba mempertahankan kehidupan orang yang ia cintai.
“Ibu… tolong jangan cabut alat bantu medis ayah, Bu! Aluna janji akan mencari uang secepatnya!” ucap Aluna seraya memeluk kaki sang ibu.
Harga diri? Aluna sudah membuang hal itu jauh-jauh hari. Jangan kan hanya bersujud di kaki ibu tirinya, sekalipun harus merangkak seumur hidup untuk belas kasihan. Akan Aluna lakukan.
“Kita sudah tak punya uang! Toh sebentar lagi ayahmu akan mati! Untuk apa buang buang uang!”
“Luna yakin, Ayah akan segera sembuh Bu, kita hanya perlu menunggu sedikit lagi! Dan juga, bukannya Ayah masih punya uang simpanan? Kenapa tak pakai itu saja!” Intonasi suara Aluna mulai meninggi.
Rahardian adalah satu-satunya yang ia punya. Setelah kematian sang ibu, tepat setelah melahirkannya. Aluna tak mau jika harus kehilangan sang ayah juga.
Tapi Lulu ibu tirinya, sangat keras kepala tak ingin mengeluarkan uang pribadi, setelah uang dari pihak jasa raharja habis.
“Dengar ya, bodoh! Uang itu untuk biaya kuliah Vanesha! Jadi jangan berani beraninya menggunakan uang itu!” Lulu mendorong keras kepala Aluna, hingga gadis itu tersungkur di lantai. “Ya… kalau kau memang ingin tetap mempertahankan Ayah mu, silahkan saja. Tapi jangan harap sepeser pun uang dariku!”
Tiga bulan yang lalu, Rahardian mengalami kecelakaan sepulang kerja. Sebuah mobil melaju cepat hingga menghantam Rahardian dengan sangat keras.
Terdapat pendarahan di otak, hingga menyebabkan Rahardian mengalami koma. Dokter bilang, harus segera dilakukan operasi besar, tapi Aluna tak punya uang untuk membayar biaya. Sedang di penabrak malah kabur.
“Uang?” gumam nya lirih.
Mata Aluna makin nanar, dia bahkan hanya bekerja serabutan. Dari mana bisa mendapat uang sebanyak itu untuk biaya pengobatan sang Ayah.
“Ibu… Ibu, tolong Luna Bu, pinjami dulu uang nya, Luna janji akan mengganti secepatnya!” Luna mengejar kembali langkah Lulu. Kembali bersujud di kaki sang ibu tiri.
Minggu ini adalah batas akhir bagi pihak rumah sakit memberi toleransi. Mengingat biaya perawatan Rahardian sudah menunggak selama satu bulan.
Alat alat medis akan di lepas Minggu depan ini juga, jika semua administrasi tak diselesaikan. Dan Aluna tak mau jika sampai hal itu terjadi.
Melepas segera alat bantu, sama dengan membunuh Rahardian.
“Ck… hishh… anak ini!” Bukannya iba, seseorang yang di panggil ibu itu justru menginjak telapak tangan Aluna dengan heels nya. “Mengembalikan uang dengan cepat?” Tanya Lulu sarkas.
“Iya Bu, Luna janji! Akan ku kembalikan secepat mungkin!”
Entah harus meminjam atau apapun. Luna akan mencoba cari bantuan nanti. Yang terpenting Lulu membayarkan tunggakan biaya rumah sakit lebih dulu.
“Kau fikir bisa? Mendapatkan uang empat puluh juta dalam sehari?” Ucap Lulu dengan tajam. “Kecuali… jika kau mau jadi pelacur!” bisik sang ibu dengan setengah menjambak rambut panjang Aluna.
“Bagaimana? Kau tertarik? Menjual keperawananmu?” Tawar Lulu di iringi seringai. “Jika iya… aku punya teman mucikari dia bisa membantumu!”
Aluna mematung di tempat setelah mendengar penawaran dari Lulu. Menjual keperawanan? Haruskah?
Tapi dia tak punya pilihan lain.
Aluna menangisi nasib diri sendiri. Akan kah nasibnya harus berakhir menjadi wanita malam?







