Aku ingin seorang bayi

BELASAN GADIS BELIA TERJARING RAZIA PROSTITUSI ONLINE, HIMPITAN EKONOMI MENJADI PENYEBAB UTAMANYA!
“Astaga… manusia jaman sekarang memang tidak punya moral! Aku lebih baik mati dari pada harus jual diri!” Milka mengomentari salah satu headline news yang baru saja lewat beranda akun sosial medianya.
Sedang Aluna hanya diam menundukkan kepala. Berbagai fikiran langsung berlalu lalang. Aluna takut kalau Milka akan membencinya, jika tahu ia berniat untuk menjadi wanita malam.
“Tapi kita kan tidak pernah tahu Ka, apa yang terjadi sama hidup seseorang?” Aluna baru sadar, sebagai manusia kita terlalu sering menjudge kehidupan orang lain, hanya berdasarkan sudut pandang dirinya sendiri.
Memang, perbuatan kotor itu tak bisa dibenarkan. Tapi mungkin saja ada alasan besar sampai seseorang melakukan itu. Ada nyawa seseorang yang harus di tolong misalnya? Seperti yang Aluna alami saat ini.
Ia ingin menjual diri, untuk biaya pengobatan sang Ayah.
“Tidak bisa Lun! Kau bayangkan saja, faktor ekonomi dijadikan sebagai alasan untuk mereka melakukan dosa! Padahal mereka punya akal, ada seribu satu pekerjaan di dunia ini, mulai dari jual koran sampai jual rotan, tapi mereka malah milih jual kehormatan! Aku tetap tidak mengerti dengan jalan fikiran orang orang macam itu!”
“Tapi tetap Ka kita tidak boleh Mandang buruk seseorang seperti itu.”
“Iya Bu Ustadzah, iya!”
Milka sudah hafal di luar kepala, kalau sahabatnya satu ini, adalah manusia dengan hati malaikat. Tidak suka membicarakan orang lain apalagi menyakiti. Hingga Milka fikir kalau Aluna akan lebih cocok kuliah jurusan keagamaan atau sosiologi dari pada masuk manajemen kuliner, seperti yang mereka ambil pada saat ini.
“Mil aku boleh pinjam-“
“Nah perempuan harusnya seperti itu! Cantik, pinter, beratitude juga! Tidak salah kalau terpilih menjadi princess Indonesia!”
Perkataan Aluna terpotong, karena Milka justru menunjukkan televisi, yang tengah menayangkan wawancara bersama Sharena Gabriella, si princess Indonesia yang akan mewakili Indonesia di kancah internasional. Padahal, Aluna berniat ingin meminjam uang.
“Tidak ada perempuan yang terlahir jelek, semua perempuan cantik, dengan caranya masing masing! Dari pada wajah mu, kurasa setiap orang lebih tertarik dengan hati mu! Saya Sharena Gabriella, Princess Indonesia!”
Drt… drt… drt…
Belum sempat Aluna mengutarakan niat hati untuk meminjam uang pada sang sahabat, kini giliran layar ponsel Aluna menyala, menampilkan satu nama yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Tante Renata: Temui aku sekarang juga!
Plak.
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi putih Aluna hingga meninggalkan rasa panas serta bekas kemerahan. Membuat gadis itu terus menundukkan kepalanya, tak berani menatap wanita yang ada di depannya.
Jauh jauh ia datang dari kampus, hanya untuk menerima perlakuan kasar seperti ini.
“Berapa kali harus ku katakan? Jauhi putraku! Apa kau tuli?” Pekik wanita paruh baya yang ada di depan Aluna, makin membuatnya menunduk. “Berapa? Sebutkan nominal yang kau mau!” Suara perempuan itu menurun diiringi tatapan mematikan.
“Saya mencintai-“
“Persetan dengan kata cinta itu! Aku tidak peduli!” Potongnya lagi, dengan cepat. “Biru itu putraku satu-satunya! Dan aku ingin wanita yang sederajat untuk jadi istrinya! Sementara kau?” tunjuk Renata pada Aluna.
Aluna cukup tahu, level nya sangat jauh di bawah Biru. Dengan baju kusut serta tas usang yang kini ia sandang, cukup menjelaskan strata sosial yang ia tempati.
Pertemuan antara Biru serta Aluna terjadi pada satu tahun yang lalu, saat Aluna melamar menjadi pegawai paruh waktu di sebuah kedai minuman. Pertemuan inten membuat kedua orang itu akhirnya saling jatuh cinta.
Sampai baru Aluna ketahui, jika Biru bukan hanya sekedar bos di kedai minuman tempatnya bekerja. Tapi merupakan, anak dari keluarga Ghenifer, pemilik perusahaan UNIq. Sebuah perusahaan produsen handphone terbesar di Indonesia.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya sudah sering mengatakan pada Mas Biru, supaya meninggalkan saya, tapi dia tak mau melakukan itu!”
Aluna berkata jujur, dia sudah sejak lama berusaha menghindar dari pria yang ia cintai itu, Aluna merasa tak cukup pantas untuk mendampingi Biru, tapi Biru justru berulang kali datang dan menyakinkan untuk memperjuangkan cinta mereka. Akhirnya Aluna luluh kembali.
“Jadi maksudmu? Putraku yang mengejar ngejar dirimu? Tidak tahu malu sekali kamu!”
Byur.
Satu gelas jus segar yang belum Luna sentuh sedikitpun berakhir di wajah.
“Maafkan saya, Nyonya, bukan begitu maksudnya.” Sekuat tenaga. Aluna menahan air mata.
Kenapa menjadi orang miskin begitu di hinakan? Pengobatan ayahnya terancam di hentikan, dan sekarang ia harus menerima di rendahkan Ibu dari pria yang dicintai. Semua itu karena uang.
Memang di dunia ini, uang lah yang paling berkuasa.
“Hah… Kau membuatku gila!” Ucap Renata seraya memijat pelipis. “Begini saja! Ambil ini!” Renata melemparkan sebuah amplop coklat berukuran gendut yang baru di ambil dari tas berloga C kembar.
“Apa ini, Nyonya?”
“Sesuatu yang kau incar dari putraku!”
“Yang saya incar?”
Aluna mencintai Biru tulus, tanpa pernah mengincar apapun. Tentu ia tak mengerti apa yang di maksud oleh Renata.
“Di dalamnya berisi uang dua puluh juta! Yah… cukup lah! Untuk biaya pindah kontrakan!”
Leher rasanya tercekat, Renata baru saja berniat membeli cintanya.
“Saya harus putus dengan Mas Biru?”
“Bukan hanya putus! Kau harus pergi dari hidupnya! Karena apa? Biru akan menikah dengan seorang gadis pilihan saya. Tentu yang lebih cantik serta terhormat dari pada kau. Jadi buang jauh-jauh mimpimu untuk jadi Cinderella!”
Renata harus bergerak cepat, menikah kan Biru dan segera mendapatkan cucu. Agara semua harta warisan bisa jatuh ke tangannya. Renata tak mau kalau sampai kalah cepat dari Ansel serta ibunya.
Memejamkan mata, Aluna berusaha menahan isak tangisnya
“Empat puluh juta!” Ujar Aluna dengan bibir bergetar.
“Apa?”
“Jika Nyonya ingin saya meninggalkan Mas Biru, beri saya empat puluh juta!”
“Hah? Hahaha… kau melakukan penawaran denganku? Wah… tak ku sangka, topengmu terbuka secepat ini!”
Pandangan Renata tentang Aluna makin buruk, matanya bahkan menatap jijik.
“Saya mau empat puluh juta!” Ulang Aluna lagi.
Biar saja harga dirinya hancur. Aluna sudah tak peduli. Yang paling penting ayahnya bisa mendapat uang untuk berobat.
“Yah… yah… yah! Baiklah! Tapi kalau kau sampai ingkar janji! Tahu sendiri akibatnya!” Ancamnya sambil melempar dua gebok uang ke hadapan Aluna.
Renata tak mempermasalahkan uang sekecil itu. Yang jelas, tujuannya sudah tercapai. Biru tak akan punya alasan lagi untuk menolak perjodohan.
“Maafkan aku Mas Biru, aku terpaksa melakukan ini! Ayahku butuh banyak biaya!” Ucap Aluna dalam hati.
Aluna tahu apa yang di lakukannya salah, tapi tak ada cara lain. Dari pada harus jual diri, Aluna lebih memilih menjual cintanya.
“Jalan!” Perintah seorang wanita, setelah kaca jendela mobil tertutup sempurna. Ia baru saja mengawasi pertemuan antara Renata dan Aluna.







