Suami punya fantasi cuckold dan 3S
Pengenalan Karakter :
1. Istri = Dilla
2. Suami = Joko
4. Tukang urut =Khalik
Note : Ada kemungkinan penambahan karakter baru sesuai dengan perkembangan cerita yang ada
- PART 1
Di bawah terik matahari Minggu siang yang menusuk, keringat mengalir membasahi setiap jengkal kulit Dilla. Ia bergerak lincah di halaman belakang, hanya dibalut sehelai kain batik yang dililitkan secara asal di tubuhnya. Kain itu, yang kini basah oleh keringat, menempel erat, seakan tak rela melepaskan lekuk tubuhnya yang memikat. Kilauan keringat di punggung dan lehernya memantulkan cahaya, menambah aura sensual yang tak bisa disembunyikan.
Setiap kali Dilla mengulurkan tangannya tinggi-tinggi untuk menjemur pakaian, lilitan kain batik itu menegang kencang. Pemandangan itu seolah menantang batas-batas kain tipis yang membebatnya. Buah dadanya yang luar biasa besar dan penuh, kini tampak semakin menonjol dan berdenyut, seolah ingin tumpah ruah dari kungkungan kain.
Di dalam kamar, Joko yang baru saja terbangun dari tidurnya, mengerjapkan mata. Pandangannya yang masih berat langsung tertuju ke jendela. Di sana, Dilla, istri tercintanya, tampak begitu memukau. Keringat dan lilitan kain yang ketat menciptakan pemandangan yang menghantam pandangannya seketika, membangkitkan gairah yang sudah lama terpendam. Senyum nakal perlahan terukir di bibir Joko, ia tahu, hari Minggu ini akan menjadi hari yang panjang dan penuh kenikmatan. Ia beranjak dari tempat tidur, berniat menghampiri sang istri yang kini sedang membelakangi jendela, menikmati keindahan pemandangan yang tersaji di depannya.
Pekikan Dilla yang memecah kesunyian siang itu membuat jantung Joko serasa berhenti berdetak. Ia berlari keluar dari kamar dan mendapati Dilla tergeletak di halaman, kakinya terpuntir aneh di antara jemuran yang terjatuh. Kain batik yang melilit tubuhnya kini basah kuyup oleh keringat dan air matanya. Tanpa pikir panjang, Joko langsung mengangkat Dilla, mengabaikan rasa panas di tangannya dari keringat sang istri. Tubuh Dilla terasa gemetar, bukan hanya karena sakit, tapi juga malu.
Di dalam rumah, Joko membaringkan Dilla dengan hati-hati di sofa. Ia menyeka keringat dari dahi Dilla dengan punggung tangannya, matanya menatap Dilla penuh kekhawatiran. “Sabar ya, Sayang… Tadi gimana ceritanya bisa jatuh?” tanyanya lembut. Dilla hanya bisa menggeleng, terisak pelan sambil memegangi pergelangan kakinya yang mulai membengkak. Joko melihat betapa ketatnya lilitan kain batik itu di tubuh Dilla, membuatnya menyadari betapa rentan dan memesonanya istrinya saat ini.
Joko bergegas keluar, mencari tukang urut. Setelah bertanya ke sana kemari, ia akhirnya menemukan sebuah tempat pijat sederhana. Mas Khalik, si pemilik, menyambutnya. Pria berusia 28 tahun itu memiliki tubuh atletis, lengan dan bahunya terlihat kekar. Joko mengutarakan maksud kedatangannya, dan Mas Khalik setuju. Namun, keraguan menyergap Joko. Ia ingat betapa Dilla bisa menjadi sangat genit. Apalagi dengan kondisi Dilla yang seperti itu di rumah.
Joko segera menelepon Dilla.
Percakapan di Telepon
Joko: “Halo, Sayang… Aku udah dapet tukang urutnya.”
Dilla: “Syukurlah, Mas… Udah di mana? Cepetan, ya. Ini bengkaknya udah kayak bola bekel.”
Joko: “Sabar ya, Sayang… Nah, ini dia. Tapi… ada tapinya.”
Dilla: “Tapi apa, Mas? Jangan bilang tukang urutnya kakek-kakek bau rokok?”
Joko: “Bukan. Ini cowok, Sayang. Namanya Khalik, usianya sekitar 28. Orangnya atletis, lho. Kamu yakin mau?”
Dilla: (Terdengar suara terkejut) “Hah? Cowok? Mas, ih… kok cowok sih? Aku jadi risih, ah.”
Joko: (Terdengar tawa pelan) “Lah, kenapa risih? Aku di sini kok. Kamu kan butuh tenaga yang kuat biar bengkaknya cepet kempes, Sayang. Kalau cewek nanti tenaganya kurang.”
Dilla: “Ih, Mas! Kamu sengaja ya? Ini urusan kaki, Mas… bukan yang lain!”
Joko: “Makanya, kan aku kasih tahu dari awal. Lagian… siapa tahu kan, Masnya malah semangat ngurutnya kalau lihat kamu… Hehe.”
Dilla: “Joko! Jangan mulai deh! Pokoknya kamu di situ terus, jangan ke mana-mana. Awas kalau dia berani-beraninya melirik!”
Joko: “Tenang aja, Sayang… Nanti kalau dia mulai genit, aku langsung peluk kamu di depannya. Biar dia tahu siapa yang punya.”
Dilla: (Terdengar menghela napas pasrah) “Ya udah deh… Asal ada kamu. Tapi inget ya, jangan cemburu aku di pegang sama cowok lain hehehe. Cepetan, Mas. Udah enggak tahan nih.”
Joko: “Siap, Bos! Lima menit lagi sampai, Sayang. Bersiap-siap ya… buat siapin minyak nya.
Joko menutup telepon dengan senyum campur aduk. Ia berjalan beriringan dengan Mas Khalik kembali ke rumah. Di dalam hati, ia merasa senang, sedikit cemas, namun juga bersemangat. Ia tahu Dilla sangat percaya padanya, dan candaan-candaan tadi justru menambah bumbu dalam hubungan mereka. Sementara itu, Mas Khalik berjalan dengan santai, tak menyadari drama kecil yang baru saja terjadi antara sepasang suami istri itu.Setibanya di rumah, Dilla masih terbaring di sofa. Ia tersenyum tipis saat melihat Joko masuk bersama seorang pria muda berbadan atletis. Dilla berusaha menutupi tubuhnya dengan bantal, merasa malu.
Setibanya di kontrakan, Dilla yang terbaring di sofa terlihat tegang. Joko mengenalkan Khalik pada Dilla, dan pria itu langsung berjongkok di depan sofa. Khalik dengan teliti memeriksa pergelangan kaki Dilla yang bengkak, sentuhannya terasa hangat dan pasti. Joko duduk di kursi tak jauh dari mereka, matanya mengawasi setiap gerakan Khalik, merasa senang sekaligus gelisah.
“Agak sakit sedikit ya, Mbak,” ujar Khalik memulai pijatannya. Dilla hanya meringis dan mengangguk. Sentuhan Khalik terasa bertenaga, persis seperti yang Joko katakan. Perlahan, Dilla mulai merasa sedikit nyaman, rasa sakitnya berangsur-angsur digantikan dengan sensasi pijatan yang melegakan. Joko, yang melihat Dilla mulai tenang, berinisiatif.
“Khalik, aku buatin kopi dulu ya biar enggak tegang. Kamu mau kopi apa?” tanyanya.
“Kopi hitam aja, Mas. Makasih, ya,” jawab Khalik sambil terus memijat.
Joko bergegas ke dapur. Saat ia kembali membawa secangkir kopi panas, ia tersandung kaki sofa. Kopi itu tumpah, tepat mengenai dada Khalik yang sedang fokus memijat.
“Aduh, maaf, Mas! Maaf banget!” seru Joko panik, membantu Khalik membersihkan bajunya. Khalik meringis menahan perih.
“Aduh, panas banget, Mas. Kayaknya kena sedikit nih,” kata Khalik sambil memegang dadanya yang memerah. Joko yang merasa bersalah akhirnya menyuruhnya, “Ya udah, Mas buka aja bajunya. Nanti biar enggak nempel.”
Khalik dengan ragu membuka kausnya. Seketika, Dilla yang tadinya memejamkan mata, membuka matanya dan terkejut. Di depan matanya kini terpampang dada bidang dan perut six-pack milik Khalik yang mengkilat karena terkena keringat. Tubuhnya yang atletis terlihat jelas, otot-ototnya menegang setiap kali ia memberikan tekanan pada kaki Dilla. Dilla menelan ludah, pandangannya tak bisa lepas dari pemandangan di depannya. Pijatan itu kini terasa berbeda, bukan hanya rasa lega, tapi juga sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Joko yang berdiri di belakang Khalik, menangkap raut wajah terkejut Dilla. Hatinya mencelos. Rasa bersalahnya kini bercampur dengan api cemburu yang tiba-tiba menyala.
Joko, yang tadinya berdiri mematung di belakang Khalik, kini merasakan gelombang emosi yang aneh. Awalnya ia cemburu, tetapi melihat ekspresi Dilla yang memandang Khalik tanpa berkedip, cemburu itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain. Keringat yang menetes di dada atletis Khalik, sentuhan tangan bertenaga yang kini sedang memijat pergelangan kaki istrinya, dan tatapan Dilla yang seolah terhipnotis, semua itu menciptakan sensasi yang aneh dan membakar di dalam dirinya.
Ia menelan ludah, dadanya bergemuruh. Pikiran-pikiran liar yang ia coba tepis sebelumnya kini datang kembali. Joko teringat percakapannya dengan Dilla di telepon, tentang “urutan yang bertenaga” dan candaan “jangan pegang yang lain”. Kini semua itu terasa nyata, seolah-olah gairah itu bukan lagi sekadar candaan. Ia melihat Dilla merintih pelan, bukan karena sakit, tapi karena sensasi pijatan yang terasa nikmat. Joko, yang seharusnya merasa marah, kini justru merasa bergairah.
Diam-diam, tangannya bergerak ke saku celana. Ia merogoh ponselnya, mengaktifkan kamera video. Dengan hati-hati, ia memposisikan ponselnya agar bisa merekam pemandangan di depannya: Khalik yang bertelanjang dada memijat kaki Dilla yang terbaring, dengan latar belakang Dilla yang sesekali memejamkan mata dan menggigit bibir.
Nafas Joko tercekat. Ia merasa seperti seorang pengamat rahasia dalam sebuah film dewasa. Gairahnya memuncak. Ia tidak bisa menghentikan dirinya. Jemari Dilla yang tadinya memegang pergelangan kakinya, kini meremas bantal sofa. Pandangannya terus tertuju pada dada bidang Khalik yang mengkilat. Joko, yang terus merekam, merasakan sensasi yang begitu kuat. Ia tahu apa yang ia lakukan salah, tapi dorongan itu terlalu kuat untuk dilawan. Ia ingin memiliki rekaman itu, ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri, sebagai bukti dari sebuah fantasi yang kini menjadi kenyataan.
Sesi pijat akhirnya selesai. Khalik merapikan peralatannya, dan Dilla menghela napas lega. Bengkak di pergelangan kakinya terasa jauh lebih baik. Joko, yang menyembunyikan ponselnya, segera mengalihkan pandangan dan berdiri di samping Dilla. Senyumnya terasa dipaksakan.
“Gimana, Sayang? Udah enakan?” tanya Joko, mengusap bahu Dilla. Dilla mengangguk.
“Iya, Mas. Jauh lebih baik,” jawab Dilla. Matanya beradu pandang sejenak dengan Khalik, ada senyum malu-malu yang tersungging di bibirnya.
Khalik berdiri, keringat membasahi dada bidangnya yang telanjang. “Ya udah, Mas Joko. Saya pamit dulu. Jangan terlalu banyak gerak ya, Mbak Dilla, biar cepat pulih.”
“Oh, iya. Makasih banyak ya, Mas Khalik. Ini, bayarannya,” kata Joko sambil menyerahkan beberapa lembar uang.
Joko kemudian mengantar Khalik sampai depan pintu. “Maaf ya, Mas, tadi kopinya tumpah. Baju Mas jadi kotor,” kata Joko.
Khalik hanya tersenyum ramah. “Santai aja, Mas. Enggak apa-apa.” Setelah Khalik benar-benar pergi, Joko kembali ke dalam dan mengunci pintu. Suasana di ruangan itu langsung terasa hening, berat, dan canggung.
Joko duduk di sisi sofa, memandangi Dilla. Ia menatap Dilla dalam-dalam, pandangan yang berbeda dari biasanya, penuh dengan hasrat yang membara. Ia teringat akan rekaman di ponselnya, dan ia tak bisa menghentikan dirinya dari membayangkan semua itu terjadi lagi.
“Mas… kok diam aja?” tanya Dilla, wajahnya memerah.
“Enggak… Aku cuma senang aja kamu udah baikan,” jawab Joko, suaranya serak. Ia mendekat, mengusap pipi Dilla, dan mencondongkan tubuhnya, mencium bibir Dilla dengan ciuman yang dalam dan penuh gairah. Dilla terkejut, namun membalas ciuman itu, tidak menyadari gairah yang ia rasakan bukanlah murni karena rasa lega, tapi juga karena fantasi yang diam-diam telah menyala di mata suaminya.
BERSAMBUNG!!!







